01 Oktober : Berkunjungnya Musim Penghujan dan Kandasnya Kabut Asap di Tahun 2019

Ada perasaan was-was dan keraguan yang terlintas sewaktu saya mengetik tajuk ini, berharap saya tidak akan mengganti keterangan tanggalnya di keesokan hari maupun satu pekan ke depan. Tapi dengan pengalaman selama kurang lebih lima tahun tinggal di Palangka Raya, saya punya firasat, ada besar kemungkinan ini bakal jadi hari terakhir bagi Kalimantan Tengah terkepung oleh asap di tahun 2019 (Amin!).

Well, tajuknya bakal terdengar ironis kalau saya tulis dengan ‘Pengalaman Selama Tiga Bulan Diliputi Asap Karhutla di Kalimantan‘, lantaran (sebenarnya) saya lebih senang menulis dan membagikan kabar baik. Itulah mengapa tajuknya bicara soal berakhirnya bencana ini, PADAHAL, saya akan mengkritisi apa saja yang terjadi selama tiga bulan yang menyiksa tersebut.

Sebelum mencari tahu apa yang terjadi, perlu diketahui bahwa 2019 bukanlah kali pertamanya bencana karhutla yang merajalela menimpa Indonesia. Dilansir dari artikel CNN dengan tajuk Membandingkan Karhutla di Indonesia Pada 2015 dan 2019, bahwa 2,6 juta hektare hutan dan lahan terbakar dengan 120 ribu titik api sejak Juni hingga Oktober 2015. Sementara pada tahun 2019 BNPB mencatat area terbakar mencapai 328.724 hektare dengan 2.719 titik panas pada periode Januari hingga Agustus. Dengan kata lain, bencana asap di tahun 2019 ini lebih ramah jika dibandingkan dengan tahun 2015.

Palangka Raya, Karhutla 2015

Demo #melawanAsap Karhutla 2015 Palangka Raya. Sumber : Instagram @buyungfamungkas

Menurut pengalaman karhutla 2015 dan 2019 yang pernah saya hadapi, di antara kedua tahun tersebut, ketebalan asap di tahun 2015 memang jauh lebih parah. Saya ingat bagaimana langit kota Palangka Raya diselubungi asap kuning dan oranye yang benar-benar pekat dengan jarak pandang hanya 100-200 meter nyaris setiap harinya, sehingga saya terpaksa harus berkendara ke kampus dengan kecepatan minimal demi keamanan pengguna jalan raya lainnya (padahal saya golongan tukang kebut).

Pada tahun yang sama, saya dan seluruh anggota keluarga berbarengan terserang ISPA akibat dampak dari setiap harinya menghirup kulitas udara yang buruk. Tidak tanggung-tanggung, kami menderita sakit selama tiga bulan dan tidak kunjung sembuh sampai bencana karhutla akhirnya benar-benar mereda di akhir Oktober 2015.

Palangka Raya, Karhutla 2019

Saya pernah membaca prediksi di suatu artikel (saya lupa dimana), bahwa kemarau panjang bakal dipastikan terulang kembali dalam jangka 5 tahun ke depan, yaitu pada 2020 atau 2021. Saat itu tidak ada yang menyadari bahwa karhutla dan bencana asap tidak perlu menunggu kemarau super panjang untuk terjadi. Karhutla bisa berangkat kapan saja termasuk pada Juli 2019.

Kabut Asap Karhutla 2019 Palangka Raya. Sumber : Instagram @damar_angga_saputra

Pagi itu, untuk pertama kalinya dalam tahun 2019 saya terbangun karena menghirup aroma asap yang menyengat dan tidak nyaman, merebak masuk ke rongga dada. Saya melirik langit kelabu melalui jendela dan saya pikir mungkin keadaan ini bakal berlangsung selama satu hingga dua pekan ke depan, dan ternyata saya salah besar.

Karhutla kian meluas, api dalam gambut susah sekali dipadamkan, asap terus membumbung, dan beberapa warga mulai terserang ISPA.

Hingga pada awal Agustus, tindakan pemadaman mulai dilakukan dengan melancarkan bombing water ke titik-titik api. Pernah satu waktu saya menyaksikan tiga helikopter yang sibuk bolak-balik akhirnya berpapasan di langit Palangka Raya dan bagaimana pemandangan tersebut benar-benar asing di mata saya.

Pada hari Sabtu 14 September, konsentrasi asap Palangka Raya mulai menunjukkan keganasannya dengan Indeks Standar Pencemaran Udara [ISPU] di angka berbahaya, di atas 1000 dan indeks kualitas udara (AQI) berada di angka 317 pada pukul 12:00 WIB.

sumber : beritagar

Sekolah-sekolah pun diliburkan di hari berikutnya, terlalu beresiko untuk anak-anak berada di luar rumah dan menghirup racun tersebut. Bahkan saya akhirnya menggunakan Nebulizer yang diberi tetesan minyak kayu putih untuk sekadar melegakan napas.

Pada tanggal 21 September, secara tidak mengejutkan turun hujan buatan yang tercipta dari modifikasi cuaca oleh TNI Angkatan Udara yang melakukan penyemaian sejak dua hari sebelumnya dengan menggunakan 2.400 kg garam semai yang ditaburkan di atas awan berpotensi hujan. Tidak hanya pada tanggal 21 September, hujan yang saya yakini sebagai hujan buatan rutin turun selama beberapa hari berikutnya di setiap malam.

Saya tahu bahwa tindakan pemerintah sudah sangat baik, tapi apakah sudah cukup efektif? Apakah sudah tepat sasaran?

Sulit bagi saya untuk berasumsi, jadi saya mengutip sebuah artikel dari portal BBC yang memuat fakta dan merujuk pada poin samar yang ingin saya sampaikan (kelihatan banget cari amannya). Mengutip artikel BBC dengan tajuk ‘Kebakaran hutan: Sejumlah perusahaan di balik karhutla 2015-2018 lolos dari sanksi serius’ :

Sejumlah perusahaan kelapa sawit dan bubur kertas yang terlibat kebakaran hutan dan lahan dalam periode 2015-2018 lolos dari sanksi serius pemerintah, kendati telah terjadi kebakaran berulang di area lahan yang sama. Bahkan, pemerintah Indonesia juga belum mencabut satu pun izin konsensi lahan tersebut.

Well, sebagian besar orang sudah mengetahui ‘rahasia’ ini. Rahasia yang tidak dapat saya tuliskan secara gamblang terkait mengapa perusahaan-perusahaan tersebut tidak dijatuhi sanksi sebagaimana mestinya karena telah teledor dalam bertanggung jawab menjaga lahan agar tidak ‘terbakar dengan sendirinya’.

Kejanggalan-kejanggalan yang ditimbulkan oleh perusahaan yang tidak tersentuh hukum telah dibahas disertai analisis yang runtut oleh Greenpeace dalam artikel pada websitenya dengan judulKrisis Kebakaran Hutan dan Lahan di Indonesia: Perusahaan Kelapa Sawit dan Bubur Kertas dengan Area Kebakaran Terbesar Tak Tersentuh Hukum’ . Kalian boleh mampir ke laman web Greenpeace untuk tahu lebih banyak mengenai rinciannya (sekalian kalau berkeinginan berdonasi).

Mengikuti persoalan di atas, saya meyakini untuk mengakhiri permasalahan yang berlarut-larut, perlu dilakukan pemberantasan hingga ke akar permasalahannya atau sumber darimana masalah itu terus tumbuh dan bermunculan. Demikian pula pada kasus Kebakaran Hutan dan Lahan yang kerap menimpa lahan gambut di Kalimantan Tengah yang memiliki titik api yang terbanyak dengan 513 titik panas (hotspot) dari seluruh Indonesia.

Jadi sampai tulisan ini di-publish dan hujan akhirnya turun dengan derasnya (bukan hujan buatan), saya sendiri masih resah perihal kasus yang semestinya diusut tersebut.

Meskipun saya tidak menderita ISPA seperti pada tahun 2015, tetapi beberapa teman dan rekan mengatakan bahwa kabut asap di tahun ini (2019) lebih buruk dari yang sebelumnya. Saya tidak tahu persis apa faktor penyebab perbedaan tersebut. Bisa saja disebabkan oleh jarak rumah penderita dari lokasi kebakaran, atau karena saya bekerja di kantor dengan penyaring udara, jumlah gizi yang saya konsumsi dan daya tahan tubuh masing-masing orang pasti berbeda.

Kendati demikian, ada satu hal yang saya dapat pastikan, benar bahwa bencana kabut asap akibat karhutla sudah berakhir sejak penghujung September 2019, tetapi jika ‘POKOK AKAR’ bencana ini tidak dibasmi atau setidaknya diberi tindakan tegas, maka akan terus ada karhutla selanjutnya disertai kabut asap menyesakkan dada yang pasti terulang kembali.

There’s no planet B. Then save us, save our earth.

and yes, here’s some funny posters and signs from demonstrations that I got from popular tweets.

Sumber foto : twitter

your comment like an oxygen :3